Semester akhir benar benar telah menjadi situasi yang
pelik. Sangat pelik dan bahkan bisa dibilang sangat rumit. Penghabisan segala energy
dikupas habis dan ditantang sampai pada tahap seberapa mampu diri bisa
melampaui. Hingga saya kemudian terduduk , pada situasi diman memang sudah
saatnya kau harus berjuang sendiri. Demi mimpi, demi masa depan, demi harapan
orang orang disekitar yang memang sudah seharusnya menggantungkan harapannya
pada kita.
Sampai pada titik dimana
kemudian saya merekam segala hal yang sudah terjadi pada diri saya , dan saya
berfikir bahwa “apakah saya egois sekarang?” Rasa bersalah itu kemudian hadir
hadir , bayang bayang bahwa “kita harus bermanfaat bagi sesama” kemudian
menghantui. Di titik itulah, kemudian rasa bersalah saya mampu mengendalikan pikir
dan emosi saya. Di saat itulah, diri saya kemudian menghantam jiwa saya dan
perkelaian diantara keduanya tak bisa dihalaukan lagi.
Sering kali saya merasa bahwa kesedihan saya sebaiknya
tidak perlu saya bagi, karena saya tidak ingin memberi energy negatif pada
orang orang yang disekitar saya. Sering kali saya mengiyakan apa yang mereka
mau, hingga saya pada titik “saya akan selalu menyalahkan diri saya jika tidak
melakukannya lagi”. Hingga saya akhirnya sadar, bahwa diri saya saat ini sedang
tidak tidak baik baik saja. Saya tersesat. Saya lupa bagaimana mengendalikan
diri saya, karena saya terlalu sibuk memenuhi apa yang mereka pinta demi
bahagianya orang lain sampai saya lupa bahwa saya pun berhak dibahagiakan. Saya
lupa menengok kondisi hati dan pikiran saya yang semakin lama semakin rapuh,
karena sering bersembunyi dibalik kata “aku baik baik saja, apa yang bisa aku
bantu untukmu?”.
Hingga teman baik saya berkata , “kamu tidak bisa seperti
ini. Kamu egois pada dirimu sendiri”. Diri saya bergejolak , bukankah saya
lakukan ini agar saya tidak egois? Memenuhi apa yang orang lain dan menomor
duakan kepentingan saya demi orang lain adalah salah satu upaya untuk tidak
menjadi egois? Batin saya menolak pernyataan teman saya, sampai kemudian logika
saya berpikir bahwa “Iya, kamu sedang egois”. Saya memaksa diri saya untuk
memenuhi apa yang orang minta tanpa memberi reward apa apa pada diri saya.
Hingga teman saya berkata “Its ok for not to okay”. “Its ok to say no if you
cant full fill what they want”. Sampai akhirnya saya menemukan tulisan bahwa “Langit
saja perlu mendung, untuk tetap mempertahankan kondisinya”. Hingga kemudian
saya menyadari bahwa saya memang benar benar sudah tersesat.
Saya salah mengartikan kebaikan hingga akhirnya
mengalahkan diri saya sendiri. Saya membiarkan diri saya meledak didalam hingga
saya lupa saya juga butuh untuk berbagi dan bercerita. Didengar dan mendengar
adalah sebagian dari perjalanan manusia. Kemudian bahwa saya menyadari bahwa
teman teman baik tidak akan meninggalkan saya seburuk apapun kondisi “cuaca” di
hati dan pikiran saya. Saya tidak perlu repot repot menerka nerka apa yang
sedang orang pikir tentang saya. Saya berjalan terlalu jauh, sampai saya lupa
mereka yang ingin tinggal akan tetap tinggal bagaimanapun kita, dan mereka yang
ingin pergi akan pergi sekeras apapun kita meanahannya. Mereka yang membenci
kita akan selalu membenci kita sebaik apapun kita. Sampai saya menyadari bahwa
saya pun berbatas karena saya menusia. Oh bukan, sabar memang tidak berbatas.
Tapi hanya kemampuan saya sebagai manusia yang berbatas. Saya akan tetap
memafkan siapa siapa yang sudah menyakiti hati. Tetapi mungkin saat ini saya
butuh jeda. Untuk kembali mengulik apa tujuan saya ditengah tengah banyaknya
persimpangan jalan agar saya tidak tersesat. Kemudian kalimat “Jangan dzalim
pada diri sendiri” dari orang terdekat membuat saya mengerti. Saya sedang salah
arah dari tujuan saya. Saya perlu banyak belajar dari definisi “baik” yang saya
bentuk pada pikiran saya.
Pesan dari tulisan ini adalah baik pada orang lain itu
kewajiban tetapi baik pada diri sendiri itu kebutuhan. Kita perlu baik pada
diri sendiri, menyehatkan fisik dan pikir untuk bisa membaik pada orang lain.
Mengetahui diri sebagai manusia itu berbatas. Kadang kita perlu berbagi “cuaca”
yang ada di hati pada manusia lain karena kita adalah sosial. Saya sering dan
selalu mengatakan bahwa “Tolong, berusahalah jadi baik”. Namun sekarang saya
akan coba sedikit modifikasi, “Mari, berusaha jadi baik pada orang lain dan
diri sendiri”. Agar tidak tersesat , disetiap persimpangan diperjalanan yang
sedang kita lalui. Berhentilah pada setiap persimpangan, tinggalkan hal baik,
tapi jangan lupa setelahnya cek diri sendiri apakah diri masih dalam kondisi
baik saat akan melanjutkan perjalanan. Sehingga jika nanti aka nada persimpangan
lagi, dirimu masih utuh untuk tetap kemudian lagi meninggalkan hal baik tanpa
luka. Hingga akhirnya nanti saat pada persimpangan, kamu tidak akan
tersesat,lagi.