PERAN MAHASISWA BAGI BANGSA
MAHASISWA adalah generasi muda yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa
terbangun oleh citra diri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul
tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan
tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga
bangsa dan negara.
Siapa Mahasiswa ?
Kata
Mahasiswa dibentuk dari dua kata dasar yaitu “maha” dan “siswa”. Maha
berarti besar atau agung, sedangkan siswa berarti orang yang sedang
belajar. Kombinasi dua kata ini menunjuk pada suatu kelebihan tertentu
bagi penyandangnya. Di dalam PP No. 30 Tentang Pendidikan Tinggi
disebutkan bahwa mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan
belajar pada perguruan tinggi tertentu (Bab I ps.1 [6]), yaitu lembaga
pendidikan yang bertujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan / atau profesional yang
dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau kesenian. (Bab II ps. 1 [1]). Dengan demikian,
mahasiswa adalah anggota dari suatu masyarakat tertentu yang merupakan
“elit” intelektual dengan tanggung-jawab terhadap ilmu dan masyarakat
yang melekat pada dirinya, sesuai dengan “tridarma” lembaga tempat ia
bernaung.
Mahasiswa adalah anggota masyarakat yang berada pada
tataran elit karena kelebihan yang dimilikinya, yang dengan demikian
mempunyai kekhasan fungsi, peran dan tanggung-jawab.
Dari
identitas dirinya tersebut, mahasiswa sekaligus mempunyai tanggung jawab
intelektual, tanggung jawab sosial, dan tanggungjawab moral
Bagaimana bentuk peran mahasiswa?
•
Peran dalam Memperdalam dan mengembangkan diri di dalam pembidangan
keilmuan yang ditekuninya sehingga dapat memiliki kemampuan untuk
memikul tanggung jawab intelektualnya.
• Merupakan jembatan antara
dunia teoritis dan dunia empiris dalam arti pemetaan dan pemecahan
masalah-masalah kehidupan sesuai dengan bidangnya.
• Merupakan dinamisator perubahan masyarakat menuju perkembangan yang lebih baik. (agen perubahan).
• Sekaligus merupakan kontrol terhadap perubahan sosial yang sedang dan akan berlangsung.
Potret peran Mahasiswa dalam pentas sejarah Indonesia
Peran
dan posisi mahasiswa dalam perspektif kehidupan berbangsa dan
bernegara, merupakan diskursus yang menarik sepanjang dinamika kehidupan
mahasiswa. Hampir menjadi kenyataan yang lazim bahwa gerakan mahasiswa
terutama di dunia ketiga memainkan peran yang sangat aktif pada posisi
sentral di dalam perubahan sosial-politik, dan hampir tak satupun
penguasa di negara-negara berkembang yang mengabaikan posisi sosial dan
pentingnya representasi politik serta dampak aspirasi dari golongan muda
berpendidikan tinggi ini. Sehingga para pemerhati sosial tidak
mengabaikan fungsi mereka dalam sistem sosial politik baik di negeri
maju maupun berkembang, termasuk di Indonesia.
Dalam arti yang
luas, ideologi berisi tatanan nilai yang dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai pedoman untuk menjalankan kehidupan bersama dalam rangka meraih
harapan-harapan mereka. Tatanan nilai tersebut berasal dari tradisi atau
adat-istiadat dan dapat pula bersumber dari ajaran agama.
Untuk
memahami perkembangan kehidupan ideologi mahasiswa, yang harus
diperhatikan adalah arus perubahan dan pergeseran fokus peranan
mahasiswa dari tahapan proses yang satu kepada proses lainnya. Perubahan
intensitas aktifitas ideologi mahasiswa dipergunakan sebagai petunjuk
untuk memahami pergeseran fokus peranan tersebut. Banyak predikat yang
disandang mahasiswa kaitannya dengan ideologi yang diperjuangkan,
horison mahasiswa yang menempatkan pada posisi strategis inilah yang
mungkin menjadikan fungsinya sebagai agent of social change dan man of
analysis, menjadi jargon yang dimitoskan.
Dalam kurun waktu
sejarah gerakan mahasiswa yang strategi dan menonjol dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pertama, terjadi pada kurun waktu 1910-an
sampai dengan 1930, kedua pada era 1960-an.
Peran ideologi
mahasiswa tahun 1910-an sampai dengan 1930-an terfokus pada peran
penggagas, yaitu menysun, menafsirkan serta memulasikan pemikiran
tentang segenap aspek kehidupan bermasyarakat yang berasal dari
masyarakat asing dan masyarakat sendiri menjadi ideologi yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya sendiri. Mahasiswa dari
generasi Soetomo 1910-an dan generasi Soekarno-Hatta 1920-an, adalah
pemikir-pemikir yang meletakkan dasar ideologi nasiolnalisme bagi bangsa
Indonesia di kemudian hari. Nasionalisme merupakan fokus dari
keseluruhan ideologi yang digagaskan oleh mahasiswa 1910-1930-an.
Pada
tahun 1940-an gerakan mahasiswa mengalami pergeseran peran, peran
penggagas tidak lagi menonjol. Gerakannya lebih terfokus pada sebagai
pendukung dan penerap dari ideologi yang sudah ada. Dekade 1950-an dunia
mahasiswa kembali disegani, sekalipun kemandirian dan peran sebagai
penggagas semakin menipis. Hal ini di latarbelakangi oleh dominannya
peran politik profesional didalam kehidupan politik. Politisi sipil yang
dominan saat itu berasal dari tokoh politik yang mengalami sosialisasi
politik tahin 1910, 1930-an di kampus dalam dan luar negeri (Eropa).
Pada era ini kampus sebagai lembaga lembaga pendidikan tinggi
terbelenggu pengaruh politisi dari partai politik sebagai kekuatan
dominan. Akibatnya, kampus dan mahasiswa mengikuti pola persaingan antar
partai dan terpecah berdasarkan politik aliran.
Perjalanan
Indonesia era 1910-an sampai 1950-an, menempatkan kekuatan sipil yang
berasal dari kaum intelektual (mahasiswa) sebagai sumber kepemimpinan
bangsa yang dominan. Akan tetapi sejak yahun 1960-an kekuatan militer
muncul sebagai suatu sumber kepemimpinan bangsa yang dominan. Fungsi
parpol bersama ormas pengikutnya sebagai sumber kepemimpinan merosot
bersama penurunan peran politiknya. Namun yang perlu dicatat dalam
sejarah gerakan mahasiswa, pada era 1960-an peran ideologi mahasiswa
meningkat tajam. Gerakan idiologi masa ini, melahirkan angkatan 1966.
Dekade 1960-an dengan angkatan 1966-nya telah membentuk identitas sosial
mahasiswa sebagai sebuah kekuatan sosial politik. Persepsi dan konsepsi
tentang peran sosial ini, terbentuk dan menguat sejalan dengan tegaknya
hegemoni pemerintahan orde baru.
Di satu sisi lahirlah Orde
Baru seiring dengan kehendak gerakan mahasiswa, sehingga gerakannya
mendapat dukungan kekuatan-kekuatan establishment (ABRI). Disisi lain
arus perubahan menuju terbentuknya keuatan orde baru sebenarnya
berangkat dari keinginan militer dan teknorat untuk lebih memerankan
diri dalam konstalasi kehidupan bangsa dan negara setelah melihat
kebobrokan dan kegagalan kekuatan sipil pada pemerintahan demokrasi
terpimpin. Keinginan militer ini diwujudkan dalam Doktrin Dwi Fungsi
ABRI diaman ABRI disamping sebagai kekuatan HANKAM juga memiliki peran
sosial politik.
Lakon yang dimainkan mahasiswa angkatan 66
berada dalam panggung sejarah yang romantis, di dalamnya terjadi aliansi
segitiga yang harmonis antara militer, teknokrat, dan mahasiswa.
Ketiganya merupakan bagian lapisan elit intelegensia yang bakal
mengobarkan gagasan modernisasi. Dengan kata lain disamping militer
teknokrat, mahasiswa juga dipercaya sebagai agen modernisasi atau
pembangunan.
Dekade 1970-an aliansi ini pecah akibat berubahnya
orientasi dan strategi pemerintahan orde baru. Cita-cita awal gerakan
orde baru sudah tidak sesuai dengan idealisme dan ideologi mahasiswa.
Akibatnya, hampir sepanjang era 1970-an terjadi protes, kritik, petisi,
selebaran dan lobi yang diarahkan kepada pemerintahan orde baru. Gerakan
ini bermuara pada persoalan demokrasi, peran militer, dan pembangunan
ekonomi. Akibatnya gerakan mahasiswa semakin berhadapan dengan kekuatan
represif, yang mengutamakan stabilitas nasional dalam upaya menjaga
kelangsungan pembangunan nasional. Pada gilirannya gerakan mahasiswa
mengalami kemerosotan yang sangat tajam, yang belum pernah terjadi dalam
gerakan mahasiswa di Indonesia. depolitisasi dan deparpolisasi, melalui
penerapan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi
Kampus) menjadi senjata pamungkas hegemoni Orba terhadap kehidupan
mahasiswa. Lalu kepada mahasiswa yang melanggar NKK/BKK diberikan sanksi
akademik yang berat, mulai dari skorsing sementara atau terbatasnya
sampai kepada pemecatan bahkan dipenjarakan.
Dekade 1980-an
adalah masa-masa mandul peran mahasiswa dalam kancah sosial-politik
karena perannya dipersempit dalam peran profesional saja. Dalam
masa-masa ini terjadi proses-proses penggugatan dan penyadaran terhadap
peran sosial-politik mahasiswa. Upaya ini tampak berbuah ketika pada era
1990-an angin perubahan di dalam diri mahasiswa mulai berhembus, yang
berujung pada munculnya generasi reformasi pada tahun 1990-an akhir ini.
----------------------------------------------------------------------------------------
Mahasiswa
memang menjadi komunitas yang unik di mana mahasiswa selalu menjadi
motor penggerak perubahan. Namun hanya sedikit rakyat Indonesia yang
dapat merasakan dan mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan hingga ke
jenjang ini karena system perekomian di Indonesia yang kapitalis serta
biaya pendidikan yang begitu mahal sehingga kemiskinan menjadi bagian
hidup rakyat ini . Adapun peran mahasiswa dalam kehidupan sosial
mastarakat yaitu :
Peran moral
Mahasiswa
yang dalam kehidupanya, tidak dapat memberikan contoh dan keteladanan
yang baik dan telah meninggalkan amanah dan tanggung jawabnya sebagai
kaum terpelajar. Jika hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada
hedonisme (hura – hura dan kesenangan), lebih suka mengisi waktu luang
mereka dengan agenda rutin pacaran tanpa tahu tentang peruban di negeri
ini, dan jika hari ini mahasiswa lebih suka dengan kegiatan festival
musik dan kompetisi (entertainment) dengan alasan kreatifitas, dibanding
memperhatikan dan memperbaiki kondisi masyarakat dan mengalihkan
kreatifitasnya pada hal – hal yang lebih ilmiah dan menyentuh kerakyat,
maka mahasiswa semacam ini adalah potret “generasi yang hilang “yaitu
generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
seorang pemuda dan mahasiswa.
Peran sosial
Mahasiswa
harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain
solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat sekat
kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh
serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombongan. Mahasiswa tidak bisa
melihat penderitaan orang lain, tidak bisa melihat poenderitan rakyat,
tidak bisa melihat adanya kaum tertindas dan di biarkan begitu saja.
Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun dan memberikan bantuan
baik moril maupun materil bagi siapa saja yang memerlukannya. Betapa
peran sosial mahasiswa jauh dari pragmatisme ,dan rakyat dapat merasakan
bahwa mahasiswa adalah bagian yang tak dapat terpisahkan dari rakyat,
walaupun upaya yang sistimatis untuk memisahkan mahasiswa dari rakyat
telah dan dengan gencar dilakukan oleh pihak – pihak yang tidak ingin
rakyat ini cerdas dan sadar akan problematika ummat yang terjadi.
Peran Akademik
Sesibuk
apapun mahasiswa, turun kejalan, turun ke rakyat dengan aksi sosialnya,
sebanyak apapun agenda aktivitasnya jangan sampai membuat mahasiswa itu
lupa bahwa mahasiswa adalah insan akademik. Mahasiswa dengan segala
aktivitasnya harus tetap menjaga kuliahnya. Setiap orang tua pasti ingin
anaknya selesai kuliah dan menjadi orang yang berhasil. Maka sebagai
seorang anak berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan
keinginan itu, untuk mengukir masa depan yang cerah .
Peran yang satu
ini teramat sangat penting bagi kita, dan inilah yang membedakan kita
dengan komonitas yang lain ,peran ini menjadi symbol dan miniatur
kesuksesan kita dalam menjaga keseimbangan dan memajukan diri kita. Jika
memang kegalan akademik telah terjadi maka segeralah bangkit,”nasi
sudah jadi bubur maka bagaimana sekarang kita membuat bubur itu menjadi “
bubur ayam spesial “. Artinya jika sudah terlanjur gagal maka tetaplah
bangkit seta mancari solusi alternatif untuk mengembangkan kemampuan
diri meraih masa depan yang cerah di dunia dan akhirat.
Peran politik
Peran
politik adalah peran yang paling berbahaya karena disini mahasiswa
berfungsi sebagai presseur group ( group penekan ) bagi pemerintah yang
zalim. Oleh karena itu pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa
agar mahasiswa tidak mengambil peran yang satu ini. Pada masa ordebaru
di mana daya kritis rakyat itu di pasung, siapa yang berbeda pemikiran
dengan pemerintah langsung di cap sebagai kejahatan terhadap negara.
Pemerintahan Orba tidak segan-segan membumi hanguskan setiap orang-orang
yang kritis dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah yang melarang
keras mahasiswa beraktifitas politik. Dan kebijakan ini terbukti ampuh
memasung gerakan – gerakan mahasiswa yang membuat mahasiswa sibuk dengan
kegiatan rutinitas kampus sehinngga membuat mahasiswa terpenjara oleh
system yang ada.
Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh
dengan kreativitas. Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari rakyat. Sekarang mari kita pertanyakan pada diri kita yang memegang
label Mahasiswa, sudah seberapa jauh kita mengambil peran dalam diri
kita dan lingkungan.
sumber : http://peran-mahasiswa.blogspot.co.id/
Minggu, 28 Agustus 2016
Minggu, 21 Agustus 2016
Narkoba,Ancaman Integrasi Nasional Dari Dalam.
Narkoba
adalah kepanjangan dari narkotika, psikotropika dan bahan-bahan berbahaya
lainnya. Istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika,
Psikotropika dan zat Adiktif. Semua istilah ini, baik “narkoba” atau napza,
mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko kecanduan bagi
penggunanya.
Sesuai
dengan undang-undang no 35 tahun 2009, pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam undang-undang ini. Contoh dari narkotika adalah opium, ganja,
morfina dan lain-lain, sedangkan pengertian dari psikotropika adalah zat atau
obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktifitas mental dan perilaku (Pasal 1ayat 1, UU no 5 tahun 1997
tentang psikotropika). Dalam pengendalian bahan-bahan tersebut di atas,
pemerintah telah membuat peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang (UU)
RI No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika; Undang-undang (UU) RI No. 5 tahun 1997
tentang Psikotropika; Keputusan Presiden (Keppres) No. 3 tahun 1997 tentang
Pengawasan dan Pengendalian minuman beralkohol dan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No. 255/Menkes/SK/V/1991 tentang Pengawasan Produk Tembakau.
Narkoba
dapat mengancam ketahanan nasional bangsa, ancaman dalam konteks ketahanan ini
adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri,
yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan
keselamatan segenap bangsa. Narkoba merupakan ancaman nonmiliter yang akan
menyerang ketahanan nasional terutama dalam bidang sosial, budaya dan ekonomi.
Ancaman nonmiliter memiliki karakteristik yang berbeda dengan ancaman militer,
yaitu tidak bersifat fisik serta bentuknya tidak terlihat seperti ancaman
militer, karena ancaman ini berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, teknologi, informasi serta keselamatan umum. Dengan demikian, narkoba
dapat dikategorikan sebagai salah satu ancaman nonmiliter yang perlu mendapat
perhatian serius dari berbagai elemen bangsa.
Ketahanan
sosial budaya diartikan sebagai kondisi dinamik budaya bangsa yang berisi
keuletan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam dan luar
yang langsung dan tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup sosial NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD l945. Keadaan atau kondisi selalu berkembang dan
keadaan berubah-ubah, oleh karena itu ketahanan nasional harus dikembangkan dan
dibina agar memandai sesuai dengan perkembangan
Jaman.
Wujud
ketahanan sosial budaya tercermin dalam kondisi sosial budaya manusia yang dijiwai
kepribadian nasional berdasarkan Pancasila, yang mengandung kemampuan untuk
mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, rukun bersatu, berkualitas, maju dan
sejahtera, dalam kehidupan selaras, serasi, seimbang serta kemampuan menangkal
budaya asing yang tidak sesuai budaya nasional. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila akan diwujudkan sebagai aturan tuntutan sikap dan tingkah laku bangsa
dan akan memberikan landasan, semangat, jiwa secara khas yang merupakan ciri
pada elemen-elemen sosial budaya bangsa Indonesia.
Masalah
penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks karena sudah
menjadi penyakit masyarakat yang sulit untuk diberantas, karena masalah narkotika
bukanlah semata-mata merupakan masalah hokum (perbuatan yang melanggar hukum)
yang menjadi tanggung jawab pihak Kepolisian atau Pemerintah saja, akan tetapi
juga menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat, dan dengan peran serta
masyarakat secara keseluruhan, tugas aparat penegak hukum menjadi mudah dan
agak ringan sehingga komitmen dalam rangka perang melawan narkotika dapat
berjalan dengan baik.
Penanganan
masalah narkotika di Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah (penegak hukum),
masyarakat dan instansi terkait sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No.
22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dimana mewajibkan masyarakat untuk ikut aktif
dalam memerangi kejahatan narkotika. Undang-undang tersebut juga memberikan perlindungan
istimewa terhadap si pelapor, saksi-saksi yang tercantum dalam pasal 57, 58,
dan 59. Sehingga perlu diterapkan ancaman pidana yang lebih berat, mengingat
bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika sangat mengancam
ketahanan dan keamanan nasional.
Dampak
penyalahgunaan narkoba terhadap lingkungan sosial yaitu gangguan mental,
anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan dan menjadi beban keluarga,
pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram. Dampak fisik, psikis dan sosial
berhubungan erat. Ketergantungan fisik akan mengakibatkan rasa sakit yang luar
biasa (sakaw) bila terjadi putus obat (tidak mengkonsumsi obat pada waktunya)
dan dorongan psikologis berupa keinginan sangat kuat untk
mengkonsumsi
(bahasa gaulnya sugest). Gejala fisik dan psikologis ini juga berkaitan dengan
gejala sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua, mencuri, pemarah,
manipulatif dan lain-lain.
Pendidikan
merupakan salah satu pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar dan mahasiswa, karena
pelajar dan mahasiswa merupakan objek yang secara emosional masih labil, sehingga
sangat rentan untuk menggunakan narkoba. Mulai dari rasa ingin tahu, mau
coba-coba, ikut-ikutan teman, rasa solidaritas group yang kuat dan memilih
lingkungan yang salah sampai dengan faktor keluarga yang kurang perhatian dan lain-lain.
Disamping dari objek sasarannya yang labil, sekolah dan kampus yang menjadi
tempat yang rentan untuk peredaran narkoba.
Hal
utama yang perlu disadari bahwa kejahatan narkoba sebagai salah satu jenis
kejahatan trans-national adalah sebuah wujud nyata bencanayang disebabkan oleh
ulah manusia (man made), oleh karenanya manusia jugalah yang harus berperan
dalam mengatasi bencana ini. Sebagaimana yang kita ketahui, konsep manjemen
bencana dalam ilmu pemerintahan, menuntut pelaksanaan yang konkret dari aparat
pemerintahan (yang di dalamnya termasuk aparat penegak hukum) dalam upayanya
mengatasi dampak kerusakan yang diakibatkan oleh alam maupun karena ulah
manusia, menurut Sumarsono (2001, Pendidikan Kewarganegaraan), peranan yang
diharapkan dan yang dapat dilakukan oleh para aparat penegak hukum adalah :
1.
Perlu
ditingkatkan kembali kerja sama antara Badan Narkotika Nasional (BNN),
Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, Kejaksaan dan masyarakat mengenai upaya
pemberantasan narkoba di seluruh Indonesia.
2.
Perlunya
penyuluhan yang terus menerus kepada generasi muda danmasyarakat tentang bahaya
dari narkoba seperti penggunaan media cetak dan elektronik, sekolah-sekolah,
kampus dan kantor-kantor baik pemerintahan dan swasta.
3.
Perlunya
pengawasan dan usaha keras dari pemerintah mengenai praktik pengedaran narkoba
baik secara langsung maupun di media online yang lagi marak sekarang ini.
Mengenai kejahatan dunia maya atau cyber crime perlu dilakukan kerja sama
dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
4.
Perlu
diperketatnya hukuman bagi pengedar narkoba dalam upaya pemberian efek jera,
opsi hukaman mati perlu dilakukan jika secara hukum telah memenuhi.
5.
Upaya
Pemberantasan narkoba di Lembaga Pemasyarakatan perlu ditingkatkan karena Lapas
disinyalir sebagai tempat pengedar atau bahkan sebagai tempat pembuat atau
pabrik narkoba. Manajemen Lapas perlu diperbaiki kembali.
6.
Perlunya
tes urine narkoba bagi setiap pegawai atau aparat pemerintah yang dilakukan
secara rutin.
KESIMPULAN
1.
Narkoba
dapat mempengaruhi ketahanan nasional suatu bangsa karena narkoba merupakan
ancaman nonmiliter yang akan menyerang ketahanan nasional terutama dalam bidang
sosial, budaya dan ekonomi.
2.
Pendidikan
merupakan salah satu pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar dan mahasiswa.
3.
Ketahanan
nasional itu dapat diwujudkan bila kita sebagai masyarakat bersih jasmani,
rohani dan pikirannya dari segala macam bentuk kerusakan termasuk kerusakan
moral akibat narkoba.
4.
Dalam
memerangi penyalahgunaan dan peredaran narkoba, bukan hanya kepolisian atau
pemerintah saja, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab semua elemen
masyarakat, dan peran serta masyarakat secara keseluruhan.
Referensi :
http://alanhaidir.blogspot.co.id/2015/11/ancaman-non-militer-penyalahgunaan.html
http://dokumen.tips/dokumen
Minggu, 07 Agustus 2016
FUNGSI ALMAMATER
Almamater (alma mater) sebuah kata yang sangat akrab di telinga mahasiswa pada umumnya yang dapat merujuk pada sebuah pakaian berupa Jas dengan warna khas masing-masing kampus. Salahkah hal tersebut? Tidak. Memang jas kebanggan sekaligus symbol setiap kampus itu dinamakan jas almamater.Alamamater atau alma mater sebuah kata serapan yang berasal dari bahasa latin dengan arti “ibu susuan”, ibu susuan atau inang penyusu sendiri adalah seorang yang dipakai pada zaman dahulu untuk mengasuh dan merawat sekaligus memberikan susu pada seorang bayi yang biasanya berasal dari kaum bangsawan. Pada masa itu seorang ibu susuan berperan penting bagi perkembangan sang bayi. Dapat dikatakan keberlangsungan hidup sang bayi dari segi kesehatan maupun pertumbuhan tergantung pada ibu susuan tersebut.
Berdasarkan falsafah inilah maka lembaga akademik atau perguruan tinggi pada khususnya menyerap istilah almamater untuk menyebut perguruan tinggi tempat mahasiswa belajar, Makna harfiah dari almamater memberikan sebuah pemahaman mendalam terhadap penyebutan perguruan tinggi dengan istilah tersebut. Perguruan tinggi yang melembaga menjadi ibarat ibu susuan bagi mahasiswanya, mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang keluarga dihimpun dalam suatu wadah untuk diproses dalam proses pendidikan formal demi memberikan sebuah nilai tambah terhadap mahasiswa tersebut. Perguruan tinggi adalah “orang tua” kedua yang berperan memberikan asupan “makanan” (baca: pengetahuan) yang bermanfaat dalam pertumbuhan mahasiswa tersebut.
Dalam beberapa kesempatan ketika saya mengikuti kegiatan di luar kampus, saya menyempatkan diri melakukan sebuah “riset kecil” terhadap beberapa orang teman baik dari kampus saya maupun dari kampus lain mngenai pengetahuan terhadap arti almamater, dan sebuah fakta mengejutkan dari beberapa teman tersebut, 95% tidak mengetahui arti dan makna dari almamater. Sebuah fakta yang sungguh miris terjadi di kalangan orang-orang yang kebanyakan notabene adalah aktivis mahasiswa di kampusnya masing-masing. Inilah fakta yang harus saya hadapi. Padahal dengan penuh kebanggaan dalam berbagai kesempatan sebagai aktivis kerapkali kita menggunakan kata “alamamater”, sebuah kata yang seringkali dianggap sakral sebagai sebuah symbol perlindungan dan kebesaran, dalam berbagai even ketika sebuah pengakuan akan status “kemahasiswaan” dibutuhkan maka mengenakan jas almamater seakan memberikan sebuah legitimasi bahwa inilah kami mahasiswa Indonesia.
Sebuah fakta lain yang cukup menggelitik terjadi dikampus saudara saya tatkala selesai kegiatan orientasi mahasiswa baru selesai dan adanya pembagian jas almamater, selama kurun waktu sekitar 1 BULAN seakan tak asing melihat teman-teman mahasiswa baru (kala itu) mondar-mandir mengenakan jas almamater di sekeliling kampus. Salahkah hal itu? Tidak!! Tidak ada yang salah, saya sangat memahami euforia dari teman-teman yang berada dalam masa peralihan dari siswa menjadi mahasiswa. Tidak ada yang salah, karena di kegiatan orientasi mahasiswa barupun tidak pernah ada sebuah materi khusus yang membahas mengenai almamater. Namun sekarang mari bersama kita menyamakan persepsi dan pemahaman mengenai almamater. Kita harus mulai memahami bahwa almamater merupakan sebuah symbol kebanggaan, sebuah bentuk eksistensi dan sebuah benda yang sakral (dalam perspektif mahasiswa). Mengapa disebut “jas” almamater? Karena “jas” merupakan sebentuk pakaian kebesaran yang digunakan hanya pada moment-moment tertentu. Pernakah kita melihat ada orang yang mengenankan jas ketika berbelanja ke pasar? Tidak!!! Karena penggunaan jas dipahami hanya dapat digunakan pada waktu-waktu tertentu.
Sekarang, kapan waktu yang tepat untuk mengenakan jas almamater? Dari uraian yang cukup panjang dan lebar di atas, setidaknya kita sudah dapat mengambil sedikit kesimpulan bahwa penggunaan jas almamater hanya dapat digunakan pada waktu-waktu tertentu. Waktu-waktu tertentu seperti apa? Ya,, ketika kita ingin menampilkan diri sebagai sosok mahasiswa dan ketika legitimasi diperlukan itulah saat yang tepat kita menggunakan jas almamater. Saat kegiatan yang membutuhkan ditunjukannya identitas kita sebagai mahasiswa dan ketika kita berjuang.
Saat saya mencari informasi tentang almamater saya menemukan beberapa artikel yang menunjukkan adanya almamater yang bersimbah darah dari korban perjuangan 1998, ketika mahasiswa bergerak menumbangkan rezim orde baru. Ketika demonstrasi besar tahun 1998 dan yang terkini demonstrasi menolak kenaikan BBM tahun 2012, lautan mahasiswa dengan berbagai macam warna almamater di depan gedung MPR/DPR RI bagaikan sebuah lautan dengan kekuatan yang sewaktu-waktu dapat meluluh lantakan rezim bangsa ini
. Itulah hakekat dari almamater yang sebenarnya, alamater adalah kebanggan dari seorang mahasiswa, almamater adalah symbolisasi dari sebuah perjuangan, kita harus menghayati dan memahami sehingga dalam prakteknya timbul sebuah rasa cinta dan penghormatan terhadap almamater tersebut yg dibuktikan dengan memakai dan dan menempatkan almamater sesuai dengan porsi, waktu dan tempatnya.
Hidup Mahasiswa!!!!!!
SEJARAH UNESA
Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tidak dapat dipisahkan dari bagian utuh perjalanan panjang pendidikan nasional. Dengan telah menghasilkan sekitar 80.000 lulusan, Unesa berani memosisikan diri sebagai salah satu penyelenggara pendidikan tinggi yang mampu merencanakan pengembangan untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu, mengevaluasi diri untuk menyiapkan lulusan yang berdaya saing tinggi (nation competitiveness) dan berjiwa kewirausahaan (entrepreneurship), serta mengatur segala kegiatannya dalam suatu mekanisme organisiasi yang sehat (organizational health).
Unesa harus mandiri (autonomy) sebagai sebuah Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Sejarah Unesa tidak dapat dipisahkan dari IKIP Surabaya yang dimulai sekitar tahun 1950. Berawal dari kursus B-I dan B-II bidang Ilmu Kimia dan Ilmu Pasti yang memanfaatkan sarana dan prasarana berupa ruang kelas dan laboratorium dari pendidikan Belanda, Hoogere Burger Schol (HBS). Kursus-kursus tersebut diselenggarakan di Surabaya untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru setingkat SLTP dan SLTA. Kursus-kursus tersebut meliputi: (a) B-I dan B-II Kimia, (b) B-I dan BII Ilmu Pasti, (c) B-I Bahasa Inggris, (d) B-I Bahasa Jerman, (e) B-I Teknik, (f) B-I Pendidikan Jasmani, (g) B-I Ekonomi, (h) B-I Perniagaan, dan (i) B-I Ilmu Pesawat. Pada tahun 1957, kursus-kursus B-I dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) Kursus B-I Umum, yang meliputi Bahasa Inggris dan bahasa Jerman, dan (2) Kursus B-I Kejuruan, yang meliputi Kimia, Ilmu Pasti, Ekonomi, Perniagaan, Teknik, Pendidikan Jasmani, dan Ilmu Pesawat. Kursus-kursus tersebut berlangsung sampai tahun 1960.
Untuk menghilangkan dualisme kursus B-I dan B-II dengan lulusan yang tidak
bergelar, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang menghasilkan lulusan bergelar, dengan Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 kedua kursus tersebut diintegrasikan ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang mencetak guru sekolah lanjutan. Selanjutnya lembaga tersebut, berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 6/1961 tertanggal 7 Februari 1961, diintegrasikan menjadi salah satu fakultas dalam FKIP Universitas Airlangga Cabang Malang dan bernama FKIP Universitas Airlangga Cabang Surabaya.
bergelar, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang menghasilkan lulusan bergelar, dengan Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 kedua kursus tersebut diintegrasikan ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang mencetak guru sekolah lanjutan. Selanjutnya lembaga tersebut, berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 6/1961 tertanggal 7 Februari 1961, diintegrasikan menjadi salah satu fakultas dalam FKIP Universitas Airlangga Cabang Malang dan bernama FKIP Universitas Airlangga Cabang Surabaya.
Pada tahun 1962 dengan berdirinya Akademi Pendidikan Guru (APG), yang
kemudian menjadi Institut Pendidikan Guru (IPG), dualisme muncul kembali. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 1/1963 tertanggal 3 Januari 1963 dilakukan integrasi IPG dengan FKIP menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Dengan integrasi ini FKIP Universitas Airlangga di Malang, pada tanggal 20 Mei 1964, statusnya diubah menjadi IKIP Malang Pusat dan FKIP Universitas Airlangga Cabang Surabaya berubah menjadi IKIP Malang Cabang Surabaya. Keadaan semacam itu berlangsung sampai tanggal 19 Desember 1964.
kemudian menjadi Institut Pendidikan Guru (IPG), dualisme muncul kembali. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 1/1963 tertanggal 3 Januari 1963 dilakukan integrasi IPG dengan FKIP menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Dengan integrasi ini FKIP Universitas Airlangga di Malang, pada tanggal 20 Mei 1964, statusnya diubah menjadi IKIP Malang Pusat dan FKIP Universitas Airlangga Cabang Surabaya berubah menjadi IKIP Malang Cabang Surabaya. Keadaan semacam itu berlangsung sampai tanggal 19 Desember 1964.
Berdasarkan SK Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan nomor 182/1964 tertanggal 19 Desember 1964, secara resmi IKIP Surabaya berdiri sendiri dengan pimpinan suatu presidium Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal kelahiran IKIP Surabaya yang setiap tahun diperingati sebagai dies natalis IKIP Surabaya. Pada tahun 1964, IKIP Surabaya mempunyai lima fakultas, yaitu (1) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), (2) Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS), Fakultas Keguruan Sastra Seni (FKSS), (4) Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta (FKIE), dan (5) Fakultas Keguruan Ilmu Teknik (FKIT). Pada 1 Maret 1977, Sekolah Tingi Olahraga (STO) berintegrasi dengan IKIP Surabaya berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. nomor 042/O/1977
tertanggal 22 Februari 1977 dan menjadi Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan (FKIK), yang merupakan fakultas keenam yang dikelola oleh IKIP Surabaya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah R.I. nomor 27/1981, IKIP Surabaya mempunyai enam fakultas, yaitu: (1) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), (2) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), (3) Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam (FPMIPA), (4) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), (5) Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (FPTK), dan (6) Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK).
tertanggal 22 Februari 1977 dan menjadi Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan (FKIK), yang merupakan fakultas keenam yang dikelola oleh IKIP Surabaya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah R.I. nomor 27/1981, IKIP Surabaya mempunyai enam fakultas, yaitu: (1) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), (2) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), (3) Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam (FPMIPA), (4) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), (5) Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (FPTK), dan (6) Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK).
Dengan kepercayaan untuk menyelenggarakan perluasan mandat (wider mandate), IKIP Surabaya berubah menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) berdasarkan SK Presiden R.I. nomor 93/1999 tertanggal 4 Agustus 1999 dengan mengelola enam fakultas, yaitu (1) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), (2) Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS), (3) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), (4) Fakultas Ilmu Sosial (FIS), (5) Fakultas Teknik (FT), dan (6) Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK).
Saat ini Unesa mengelola 63 program studi, kependidikan maupun nonkependidikan, dengan jenjang diploma (D2 dan D3), strata satu (S1), dan pascasarjana yang terdiri atas strata dua (S2) dan strata tiga (S3). Karena perjalanan Unesa tidak dapat dipisahkan dari IKIP Surabaya, maka hari kelahiran (dies natalis) Unesa tetap menggunakan dies natalis IKIP Surabaya.
Saat ini Unesa mengelola 63 program studi, kependidikan maupun nonkependidikan, dengan jenjang diploma (D2 dan D3), strata satu (S1), dan pascasarjana yang terdiri atas strata dua (S2) dan strata tiga (S3). Karena perjalanan Unesa tidak dapat dipisahkan dari IKIP Surabaya, maka hari kelahiran (dies natalis) Unesa tetap menggunakan dies natalis IKIP Surabaya.
Belajar dari perjalanan kursus-kursus keguruan B-I dan B-II hingga menjadi sebuah universitas, tidak menutup peluang bahwa di kemudian hari Unesa akan berkembang menjadi sebuah universitas besar yang berlokasi wilayah Surabaya Barat dengan program studi, jurusan, maupun fakultas yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan masyarakat. Pengembangan Unesa yang mengedepankan kompetensi lulusan dan kebutuhan stakeholders akan selalu menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai bagi Unesa.
Tri Dharma Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan salah satu subsistem pendidikan nasional. Keberadaannya dalam kehidupan bangsa dan negara berperan penting melalui penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 20 Ayat 2).
Saat ini kesadaran mahasiswa akan tanggung jawabnya dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi semakin menurun. Tri dharma perguruan tinggi sebagai salah satu pondasi dan dasar tanggung jawab yang dipanggul mahasiswa (sebagai bagian dari perguruan tinggi) harus dikembangkan secara simultan dan bersama-sama. Dengan kondisi Indonesia yang mulai memprihatinkan, sebagai mahasiswa baru perlu mengetahui dan menyadari salah satu pedoman untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam rangka menjawab tantangan negara dan bangsa Indonesia di masa depan.
Tri Dharma perguruan tinggi merupakan tiga pilar dasar pola pikir dan menjadi kewajiban bagi mahasiswa sebagai kaum intelektual di negara ini. Karena mahasiswa adalah ujung tombak perubahan bangsa kita ke arah yang lebih baik. Pernyataan ini menjadi terbukti ketika kita melihat sejarah bangsa ini dimana sebagian perubahan besar yang ada di negara ini dimulai oleh mahasiswa, dalam hal ini pemuda-pemudi Indonesia. Adapun Tri Dharma Perguruan tinggi itu sendiri meliputi :
1. Pendidikan dan pengajaran.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual bangsa yang menduduki 5% dari populasi warga negara Indonesia berkewajiban meningkatkan mutu diri secara khusus agar mutu bangsa pun meningkat pada umumnya dengan ilmu yang dipelajari selama pendidikan di kampus sesuai bidang keilmuan tertentu. Mahasiswa dan pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga ketika mahasiswa melakukan segala kegiatan dalam hidupnya, semua harus didasari pertimbangan rasional, bukan dengan adu otot. Itulah yang disebut kedewasaan mahasiswa.
2. Penelitian dan Pengembangan
Ilmu yang dikuasai melalui proses pendidikan di perguruan tinggi harus diimplementasikan dan diterapkan. Salah satunya dengan langkah ilmiah, seperti melalui penelitian. Penelitian mahasiswa bukan hanya akan mengembangkan diri mahasiswa itu sendiri, namun juga memberikan manfaat bagi kemajuan pperadaban dan kepentingan bangsa kita dalam menyejahterakan bangsa. Selain pengembangan diri secara ilmiah dan akademis. Mahasiswa pun harus senantiasa mengembangkan kemampuan dirinya dalam hal softskill dan kedewasaan diri dalam menyelesaikan segala masalah yang ada. Mahasiswa harus mengembangkan pola pikir yang kritis terhadap segala fenomena yang ada dan mengkajinya secara keilmuan.
3. Pengabdian pada Masyarakat
Mahasiswa menempati lapisan kedua dalam relasi kemasyarakatan, yaitu berperan sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Mahasiswa adalah yang paling dekat dengan rakyat dan memahami secara jelas kondisi masyarakat tersebut. Kewajiban sebagai mahasiswa menjadi front linedalam masyarakat dalam mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah terhadap rakyat karena sebagaian besar keputusan pemerintah di masa ini sudah terkontaminasi oleh berbagai kepentingan politik tertentu dan kita sebagai mahasiswa yang memiliki mata yang masih bening tanpa ternodai kepentingan-kepentingan serupa mampu melihat secara jernih, melihat yang terdalam dari yang terdalam terhadap intrik politik yang tidak jarang mengeksploitasi kepentingan rakyat. Disini mahasiswa berperan untuk membela kepentingan masyarakat, tentu tidak dengan jalan kekerasan dan aksi chaotic, namun menjunjung tinggi nilai-nilai luhur pendidikan, kaji terlebih dahulu, pahami, dan sosialisasikan pada rakyat, mahasiswa memiliki ilmu tentang permasalahan yang ada, mahasiswa juga yang dapat membuka mata rakyat sebagai salah satu bentuk pengabdia terhadap rakyat.
MAHASISWA BERKARAKTER
Mahasiswa adalah tingkat status yang lebih tinggi dari pelajar. Begitu pula sikap dan tingkah laku yang harus dimiliki mahasiswa tersebut. Semuanya harus lebih tinggi dari seorang pelajar. Dan yang paling penting seorang mahasiswa harus memiliki tindakan yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab dengan semua tugas yang telah diberikan, bertanggung jawab dengan langkah dan pilihan yang telah diambil, dan bertanggung jawab dengan semua yang telah dilakukan. Dan pada intinya seorang mahasiswa harus bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri.Setelah seorang mahasiswa tersebut bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri, mahasiswa itu harus bisa bertanggung jawab juga terhadap lingkungannya dan negaranya.
Mahasiswa merupakan sosok yang diharapkan membawa perubahan ke arah yang positif terhadap masyarakat dan bangsanya. Bukan hanya itu, seorang mahasiswa harus mampu membawa dampak yang positif dimana dan kapan pun dia berada. Seorang mahasiswa bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada dirinya dan pada masyarakatnya. Lalu bagaimanakah karakteristik mahasiswa yang bertanggung jawab?
Mahasiswa yang berkarakter (bertanggung jawab) bisa dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut :
- Berpretasi baik bidang akademik maupun non akademik.
- Mampu berorganisasi dan memiliki dasar jiwa kepemimpinan.
- Kreatif dan menghapuskan sikap plagiarisme.
- Berpikir kritis dan rasionalis terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungannya.
- Peduli dan turut membantu masyarakat dalam menghadapi masalah sosial dan budaya serta bencana alam.
- Ikut serta membangun pemerintahan yang sesuai dengan moral pancasila dan UUD 1945.
- Menanamkan jiwa disiplin, kreatif dan mandiri pada masyarakat sekitarnnya.
- Mampu memilah kebudayaan asing yang masuk ke dalam negaranya.
Selain itu saya juga akan menggambarkan mahasiswa yang berkarakter untuk lebih jelasnya. Mahasiswa yang berkarakter biasanya memiliki kemampuan :
. 1. Memiliki wawasan yang luas.
Seorang mahasiswa dituntut untuk megerti dan menyadari keadaan di sekitarnya. Wawasan yang luas tidak hanya didapat dari ilmu yang dipelajari di perkuliahan saja, melainkan juga bisa didapat dari lingkungan sekitar.
2. Mampu membagi waktu
Masa kuliah merupakan masa-masa yang terdapat banyak waktu luang. Tinggal bagaimana mahasiswa itu sendiri dapat mengatur waktu yang dimilikinya, seperti untuk kuliah, organisasi, hobi, refreshing, dan pacaran. Mahasiswa yang mampu membagi waktunya dengan baik, kelak akan menjadi seorang mahasiswa yang ideal
3. Memahami seluk beluk tempat menuntut ilmu.
Kampus, tempat mahasiswa menuntut ilmu menyimpan banyak cerita yang tidak akan terlupakan. Untuk menjadi mahasiswa ideal, mahasiswa harus mengerti seluk-beluk tempat menuntut ilmunya tersebut. Mulai dari dosen yang mengajar, ruangan belajar, fasilitas yang tersedia. Dengan mengetahui secara detail, mahasiswa akan mudah mengakses hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan perkuliahan.
4. Pintar, rajin, aktif.
Tiga hal ini (pintar, rajin, aktif) adalah sifat wajib yang dimiliki oleh seorang mahasiswa ideal. Pintar dalam artian bahwa seorang mahasiswa pintar mengkondisikan diri dengan sekitarnya. Rajin berarti mengikuti kegiatan yang dipilihnya dengan rajin, tidak menjalani dengan setengah hati. Aktif yaitu turut serta dalam kegiatan-kegiatan positif universitas.
5. Pintar berdiskusi.
Sesuai dengan hakikatnya, mahasiswa itu harus memiliki sikap kritis. Dengan sikap kritis yang dimiliki, mahasiswa mempunyai kemampuan dalam berdiskusi. Kemampuan berdiskusi ini sangatlah berguna di masyarakat dan dunia kerja nantinya. Kemampuan berdiskusi yang baik di masa kuliah akan bermanfaat dalam menyampaikan pendapat di forum, sehingga tercapailah predikat mahasiswa ideal.
Pekerjaan berat ini tidak akan bisa dijalani apabila status "mahasiswa" hanya digunakan untuk ajang gengsi dan mengikuti trend atau mode. Dari sinilah, mahasiswa harus memiliki karakter yang kuat agar tidak terbawa arus terlalu jauh sehingga meninggalkan kebudayaannya sendiri. Karakter itu ialah menjadi mahasiswa yang memiliki prinsip moral yang kuat, dan cara berpikir yang kritis serta konstruktif.Karakter diartikan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, dan watak.Dengan demikian, mahasiwa berkarakter artinya mahasiswa yang memiliki kualitas mental, kekuatan moral, akhlak, atau budi pekerti yang berasal dari nilai-nilai, dan mempunyai keyakinan yang tertanam dalam jiwa sehingga muncul kepribadian khusus yang melekat pada dirinya.
Pendidikan karakter menjadi tema peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini. Pendidikan karakter tidak hanya membangun karakter pribadi berbasis kemuliaan tetapi secara bersamaan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa. Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Ketiga hubungan itu harus berjalan berdampingan untuk menjadi mahasiswa berkarakter.
Dengan demikian, mahasiswa yang berkarakter mulia tidak akan terjerumus ke dalam tindakan-tindakan anarkis dan merugikan orang lain. Mahasiswa yang nota bene dianggap sebagai kelompok terdidik seharusnya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat yang tingkat pendidikannya masih rendah.
Demo boleh, tapi demo yang disertai dengan tindakan merusak lingkungan, meresahkan masyarakat, dan menghancurkan moralitas kemahasiswaan bukanlah mahasiswa yang sebenarnya. Tapi itulah yang disebut dengan preman masuk kampus.
Marilah kita sebagai mahasiswa yang bergelar agen perubahan, berusaha untuk membangun karakter mulia agar bisa menularkannya kepada masyarakat. Inilah salah satu bentuk pengabdian kita kepada bangsa.
VISI MISI JURUSAN FISIKA DAN PENDIDIKAN FISIKA UNESA
VISI DAN MISI JURUSAN FISIKA UNESA
Visi:
Mengembangkan wawasan dan membantu guru dalam mengembangkan pembelajaran fisika yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan.
Mengembangkan wawasan dan membantu guru dalam mengembangkan pembelajaran fisika yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan.
Misi:
1. Mengembangkan wawasan guru tentang fisika dan pembelajarannya
2. Membantu guru dalam mengembangkan kurikulum dan materi pembelajaran.fisika
3. Membantu guru dalam memilih pendekatan, model, strategi, dan metode pembelajaran fisika,
4. Membantu guru dalam mengembangkan perangkat pembelajaran fisika
5. Membantu guru dalam mengembangkan media pembelajaran fisika
6. Membantu guru dalam mempersiapkan evaluasi pembelajaran fisika
7. Membantu guru dalam mengembangkan pembelajaran fisika inovatif
VISI DAN MISI PRODI PENDIDIKAN FISIKA UNESA
Visi :
Menjadi program studi unggulan pada tahun 2030 dikawasan Asia Tenggara dalam bidang inovasi pembelajaran fisika yang mampu mencetak lulusan yang unggul, berkarakter dan berdaya saing nasional maupun internasional
Misi :
1. Menyelenggarakan proses pendidikan fisika berstandar internasional
2. Menyelenggrakan kegiatan penelitian inovasi pembelajaran fisika bertaraf internasional
3. Menyelenggarakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat berbasiskan hasil penelitian inovasi pembelajaran fisika
4. Membangun berkerjasama dan sinergi dalam pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat dan pengembangan fisika dengan institusi lain yang terkait
Langganan:
Postingan (Atom)